Hukum Mengumpulkan Harta Untuk Sedekah dan Kegiatan Sosial?
APA HUKUM MENGUMPULKAN HARTA UNTUK SEDEKAH DAN BERPATISIPASI DALAM KEGIATAN-KEGIATAN SOSIAL?
Pertanyaan.
Fadhilatusy Syaikh ‘Abdurrahman -semoga Allah mengangkat derajat anda-, Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.
Fadhilatusy Syaikh : Apa hukum mengumpulkan harta untuk sedekah dan berpatisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial?
Yakni : Seorang datang dan mengatakan kepada teman-temannya : Ada kegiatan sosial anu dan ada keluarga yang membutuhkan, maka kalian kumpulkanlah harta, yang akan aku gabungkan agar nanti saya berikan kepada mereka.
Apakah yang lebih utama : seorang menyampaikan saja kepada teman-temannya tentang kegiatan itu, ataukah boleh baginya untuk mengumpulkan dari mereka harta mereka agar mereka berpartisipasi?
Seperti : jika kegiatan membutuhkan dana seribu riyal dan seorang mengabarkan sepuluh temannya tentang kegiatan tersebut sehingga masing-masing dari mereka menyerahkan 100 riyal dan orang itu yang mengumpulkannya. Apakah hal seperti ini dibolehkan?
Apakah kaidah dalam partisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial, minta-minta kepada manusia dan mengumpulkan harta? Dan bagaimana dengan kisah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tatkala berbicara dan mendorong manusia untuk mengumpulkan sedekah agar diberikan kepada Ahlush Shuffah?
Semoga Allah membalas dengan balasan yang baik kepada anda atas jawaban anda terhadapku dan terhadap setiap yang bertanya kepada anda, semoga Allah memberikan taufik kepada anda terhadap hal-hal yang Dia ridhai, mengalirkan nikmat-nikmat-Nya kepada anda, meliputi anda dengan rahmat-Nya dan melimpahkan kesenangan serta afiyat kepada anda.
Jawaban.
Wa ‘Alaikumus Salam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh.
Aamiin, dan semoga anda juga mendapatkan semisal dengan apa yang anda do’akan.
Ini termasuk meminta-minta kepada manusia. Dan kita telah dilarang dari minta-minta kepada manusia, dan dari hal-hal yang menyertainya berupa memaksa dan memberatkan orang lain, dan dari apa yang timbul darinya berupa rasa jengkel jika ditolak.
Kalaulah haram atas seseorang untuk menghinakan dirinya dan memaksa dalam meminta kepada orang lain ketika dia meminta untuk dirinya sendiri -kalau meminta itu dibolehkan untuk dirinya-; maka kalau dikatakan: bahwa hal itu haram ketika meminta-minta untuk orang lain: itu lebih jelas; yakni: diharamkan atas seseorang untuk memakasa dalam meminta walaupun itu meminta untuk orang lain.
Dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang : seorang mukmin menghinakan dirinya [HR. At-Tirmidzi (no. 2254)].
Imam An-Nawawi membuat bab dalam “Syarah Shahih Muslim” [(VII/127)]: “Bab: Larangan Dari Meminta-Minta” Kemudian beliau berkata:
“Maksud dari bab ini dan hadits-haditsnya : larangan dari meminta-minta. Dan para ulama telah sepakat atasnya (larangan dari meminta-minta) jika tidak darurat. Para sahahabat kami berselisih tentang (meminta-minta bagi) orang yang mampu untuk bekerja, menjadi dua segi: yang paling shahih adalah bahwa itu haram berdasarkan lahiriyah hadits-hadits, yang kedua : halal disertai kemakruhan dengan tiga syarat: (1)tidak menghinakan diri, (2)tidak memaksa dalam meminta, dan (3)tidak mengganggu orang yang diminta. Kalau tidak terpenuhi salah satu dari syarat-syarat ini; maka disepakati atas haramnya.” Sekian.
Imam Ahmad -rahimahullaah- tidak memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah: seorang yang meminta untuk orang lain walaupun ada hajah (kebutuhan); karena dari hal itu akan timbul: menghinakan diri, perasaan (tidak senang) yang muncul ketika ditolak (tidak diberi), dan karena hal itu masuk dalam kategori: minta-minta kepada manusia.
Ibnu Muflih berkata dalam “Al-Furuu’” [(IV/318)]:
“Kalau seorang minta-minta untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk: sedekah, haji, atau perang; maka Muhammad Ibnu Dawud menukil (dari Imam Ahmad): “Tidak menyenangkanku kalau dia bicara (meminta) untuk dirinya sendiri, maka apalagi (terlebih lagi) untuk orang lain? Memakai kiasan/sindiran lebih aku sukai.” Al-Marrudzi dan jama’ah menukilkan (dari Imam Ahmad): “Tidak boleh (meminta-minta), akan tetapi menggunakan kiasan/sindiran.” Kemudian beliau membawakan hadits tentang orang-orang yang datang kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan BELIAU MENDORONG UNTUK BERSEDEKAH DAN BELIAU TIDAK MEMINTA. Dalam riwayat Muhammad bin Harb ada tambahan (dari Imam Ahmad): “Terkadang seorang minta kepada orang lain dan orang itu tidak memberinya sehingga ia marah kepadanya.” Al-Marrudzi menukil (dari Imam Ahmad) bahwa ia berkata kepada orang yang minta: “Kamu tidak boleh minta.” Dan ia (Imam Ahmad) tidak memberikan rukhshah (keringanan) padanya untuk meminta.” Sekian.
Minta-minta kepada manusia adalah haram. Ibnul Qayyim berkata: “Meminta-minta kepada makhluk asalnya adalah haram, dan dibolehkan hanya ketika darurat.” [Perkataan Syaikhul Islam dalam “Al-‘Ubuudiyyah” (hlm. 105)]
Terkadang seorang menghinakan dirinya dengan meminta-minta kepada manusia walaupun dia meminta untuk diberikan kepada orang lain. Hal itu dikarenakan di dalam meminta-minta kepada manusia terdapat: “menghinakan diri kepada selain Allah, menumpahkan air di wajahnya (kehormatan dirinya) untuk selain Penciptanya, dan mengganti dari meminta kepada-Nya menjadi meminta kepada makhluk.” sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim [dalam “Madaarijus Saalikiin” (I/535 -Kairo)].
Dan terkadang seorang tidak mendapatkan pahala atas pengumpulan harta ini, bahkan bisa jadi dia tidak lepas tanggung jawabnya -pada sebagaian waktu-.
Bisa jadi sebagian orang yang minta-minta (donasi): (awalnya) dengan niat yang baik, akan tetapi tidak lama kemudian masuk ambisi-ambisi pribadi; berupa: ingin dipuji manusia bahwa fulan melakukan kebaikan dan mengumpulkan donasi..dan hal-hal lain yang diinginkan oleh hawa nafsu.
Bisa jadi (sebagian orang yang minta-minta donasi): mencela sebagian orang ketika mereka menjanjikan untuk memberi, tapi kemudian mereka tidak memberi, sehingga perbuatan baik (orang yang minta-minta donasi) tersebut menjadi perbuatan jelek. Semata-mata janji; tidak terbangun atasnya sesuatu, tidak wajib padanya sesuatu pun. Kalau ada orang yang menjanjikannya untuk memberinya sesuatu kemudian dia tidak memberikannya; maka tidak mengapa. Maka tidak boleh mencelanya, dan tidak boleh mencelanya di tengah-tengah manusia serta membicarakannya. Ketika demikian, maka orang yang mengumpulkan harta untuk diberikan kepada orang lain: masuk dalam perkataan Ibnu Mas’ud:
كَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ!
“Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya!” [Sunan Ad-Darimi (I/68-69)]
Adapun masalah terbebas dari tanggung jawab ; maka bisa jadi seorang mengumpulkan harta, terkadang dia tidak menjaganya, terkadang sebagian mereka meminjam dari harta tersebut dengan alasan bahwa hukum dia seperti amil zakat?! Maka ini tidak halal baginya, hukumnya tidak seperti hukum amil zakat. Atau terkadang dia mempergunakannya dengan ijtihadnya : untuk digunakan bukan untuk tujuan dikumpulkannya harta dan untuk digunakan selain dari segi yang diinginkan oleh orang-orang yang mengeluarkan harta tersebut.
Cukuplah seorang diberikan sindiran/ungkapan/kiasan tentang adanya kebutuhan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-. Dan tidak menyusahkan dirinya dan tidak juga orang lain; karena sesungguhnya meminta-minta kepada manusia adalah kehinaan dalam keadaan apa pun. Ibnul Qayyim berkata: “Meminta kepada manusia adalah aib dan kekurangan pada seseorang serta kehinaan yang menafikan muruah (kesopanan) kecuali dalam masalah ilmu.” Sekian [“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/510)].
(Meminta dengan) mendesak dan menyusahkan manusia adalah tercela. Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “(Meminta dengan) mendesak kepada selain Allah adalah tercela, karena Allah memuji orang yang sebaliknya, Allah berfirman:
{…لَا يَسْأَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا…}
“…mereka tidak meminta secara paksa kepada kepada orang lain...” (QS. Al-Baqarah: 274) [“At-Tamhiid” (II/286 -cet. Daarul Kutub)]
Adapun yang terdapat dalam Shahih Muslim (no. 1017), dari hadits Jarir -radhiyallaahu ‘anhu-, bahwa ia berkata : Kami di sisi Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- pada awal siang, maka datanglah suatu kaum yang memakai kain wol bergaris atau kain ‘aba-ah dengan memanggul pedang, sebagian besar dari Mudhor, bahkan semuanya dari Mudhor. Maka wajah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berubah karena melihat kemisikinan mereka. Maka beliau masuk kemudian keluar. Beliau suruh Bilal untuk adzan dan iqamah, kemudian beliau Shalat dan berkhuthbah, beliau membaca:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ: {إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا}
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam),” sampai akhir ayat: “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisaa’: 1)
Dan beliau membaca ayat yang ada dalam Surat Al-Hasyr:
{…اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ…}
“…Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah...” (QS. Al-Hasyr: 18)
“Seorang bersedekah dari dinarnya, dari dirhamnya, dari pakaiannya, dari sha’ gandumnya, dan dari sha’ kurmanya.” Sampai beliau bersabda: “Walaupun sepotong kurma.” Dan seterusnya hadits.
Hal ini dilakukan oleh beliau -‘alaihish shalaatu was salaam- karena beliau adalah IMAM manusia. Dan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak meminta dari manusia setelah Allah taklukkan (negeri-negeri) bagi beliau dan harta mulai banyak. Dan tidak diriwayatkan dari Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum- tentang meminta dari manusia; maka hal itu menunjukkan: tidak boleh meminta dari manusia, dan tidak boleh meminta kecuali dilakukan oleh penguasa atau wakilnya dari orang-orang yang mengetahui maslahat -hal itu jika di Baitul Mal tidak tersisa apa pun-.
Dan para ulama tidak berdalil dari kejadian ini atas bolehnya meminta kepada manusia di masjid.
Bahkan para Salaf mengusir para pengemis dari masjid-masjid. ‘Ikrimah jika melihat para peminta-minta di masjid; maka beliau mencelanya dan berkata: Dahulu Ibnu ‘Abbas mencela mereka dan mengatakan: “Mereka tidak menghadiri Jumat dan ‘Id kecuali untuk meminta-minta dan mengganggu. Ketika manusia berharap kepada Allah; maka harapan (para pminta-minta) itu kepada manusia.” [“Tahdziibul Kamaal” (XX/276)]
Dan dalam biografi Ibnu Jarir Ath-Thabari -rahimahullaah-: Bahwa Al-Muktafi ingin wakaf yang dikumpulkan padanya: perkataan para ulama, maka Ibnu Jarir dihadirkan, dan beliau mendiktekan atas mereka sebuah kitab tentang hal itu, maka dikeluarkan bagi beliau sebuah hadiah, maka beliau tidak mau menerimanya. Kemudian dikatakan kepada beliau: Harus ada kebutuhan anda yang dipenuhi. Maka kata beliau: Saya minta kepada Amirul Mukminin agar melarang para peminta-minta pada hari Jum’at. Maka ia (Al-Muktafi) melakukannya. [“Siyar A’laamin Nubalaa’” (XIV/270)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- ditanya tentang meminta di masjid jami’; apakah halal, haram atau makruh? Apakah meninggalkannya lebih wajib daripada melakukannya? Maka beliau menjawab: “Asal dari meminta adalah haram, baik di masjid maupun di luar masjid; kecuali karena darurat.” Sekian. [“Majmuu’ Fataawaa” (XXII/206)]
Dan sebagaimana telah saya jelaskan: Cukuplah seorang menyebutkan kebutuhan dengan kiasan/sindiran/ungkapan, dan menyebutkan apa yang dibutuhkan oleh manusia; baik dalam mengumpulkan donasi atau menyebutkan hal itu kepada manusia, tanpa memaksa, menyusahkan dan mengganggu manusia.
Perkara terakhir : Terkadang ada orang yang hendak berdonasi dan menginginkannya; akan tetapi dia tidak ingin melakukannya di hadapan manusia, terkadang ia berdonasi dengan jalan transfer, atau melalui seseorang, dan lain-lain.
Semisal itu (pengumpulan donasi yang tercela) : apa yang terjadi berupa hal yang menyusahkan dengan menjalankan beberapa orang di hadapan orang-orang yang (akan) Shalat untuk mengumpulkan donasi. Dan terkadang ada orang yang mengumpulkan donasi dia memaksa dan menyusahkan orang lain di hadapan manusia. Semata-mata berjanji untuk berdonasi : tidak terbangun atasnya sesuatupun.
Wa Billaahit Taufiq.
Dijawab oleh: ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah As-Suhaim, anggota Maktab Ad-Da’wah wal Irsyad
-diterjemahkan oleh: Ahmad Hendrix–
Sumber: almeshkat.net
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/53949-hukum-mengumpulkan-harta-untuk-sedekah-dan-kegiatan-sosial.html